Thursday, September 29, 2011

Cerita Sedih Seorang Ayah

    SUMPAH! ini cerita sedih banget

    < kalo mw baca, saya sarankan yg lagi mod baca cerita aja
    takut bosan liat tulisan panjang kyk bgini >


    25 tahun yang lalu,
    Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.
    Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami
    ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam
    tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa
    sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa d! an salam
    sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur
    karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku
    sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku..
    Cita-cita kami sederhana,ingin hidup bahagia.

    22 tahun yang lalu,
    Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan
    keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya
    momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia
    bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi
    baik hingga dia tampak ! sempurna. Kulitnya masih merah,
    mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak
    dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus
    bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak
    mau menerima kami.. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk
    memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin,
    suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.

    19 tahun yang lalu,
    Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
    berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke
    kursi la! lu dari kursi ke lantai kemudian berteriak
    'Horeee, Iya bisa terbang'. Begitulah dia
    memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu
    merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak
    jarang berteriak, 'Iya sayaaang,' jika sudah
    terdengar suara 'Prang'. Itu artinya, ada yang
    pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca..
    Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat
    dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
    terpental. Dan dia cuma bilang 'Kenapa semua kaca di
    rumah ini selalu pecah, Ma?'

    18 tahun yang lalu,
    Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal
    dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin
    lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak
    membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi
    jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya.
    'Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain
    bola!' tapi aku tidak suka dia menangis terus minta
    bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku
    bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang
    sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola
    itu. 'Horee, Iya jadi pemain bola.'

    17 Tahun yang lalu
    Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan.
    Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak
    akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak
    tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku
    tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari
    sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola
    sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah
    jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
    mengalahkan kehati-hatianku dan 'Iyaaaa'. Sebuah
    truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya
    berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku
    sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang
    kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku
    bekerja sementara
    pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah
    konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata
    'Coba kalau kamu tak belikan ia bola!'

    15 tahun yang lalu,
    Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang
    pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan
    menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya
    mulai banyak dibe! ntak. Aku hanya bisa membelainya. Dan
    bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat
    marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku
    tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar
    negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk
    mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan
    dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia
    memang pergi ke Malaysia .

    13 tahun yang lalu,
    Setahun sejak keper! gian Kania, keuangan rumahku sedikit
    membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar
    kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk
    SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya.
    Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa
    melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan
    pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku
    miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh
    remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi
    keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku
    harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup
    tegar.

    10 tahun yang lalu,
    Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.
    Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu
    sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan
    hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.
    'Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.' Mungkin
    itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar
    dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
    'Sabar ya, Nak!' hiburku.
    'Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak
    diganggu!' pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku
    maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam
    hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari
    kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah
    semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak
    pernah menunjukkan
    kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di
    bangku SMP.!

    7 tahun yang lalu,
    Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku,
    kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar
    kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika
    aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang
    membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi
    TKI ke Malaysia . Sulit baginya mencari pekerjaan di sini
    yang cuma lulusan SMP.. Haruskah aku melepasnya karena
    alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai
    habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan
    rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah
    itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha
    kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak
    kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku
    baik-baik saja.

    4 tahun lalu,
    Kamila tak pernah telat ! mengirimi aku uang. Hampir tiga
    tahun dia di sana . Dia bekerja sebagai seorang pelayan di
    rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan
    laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan
    sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu
    adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah
    ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu.
    Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca
    dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu
    hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa
    salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat
    tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti
    setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin
    untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih
    pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

    3 tahun 6 bulan yang lalu,
    Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian
    pemerintahan Malaysia , kabarnya anakku ditahan. Dan dia
    diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami
    majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis,
    aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin
    membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta
    bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari
    maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku
    selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku
    hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia
    memang bersalah.

    2 tahun 6 bulan yang lalu,
    Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah.
    Dan dia harus menjalani ! hukuman gantung sebagai
    balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis
    sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya
    tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah
    keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.
    Wahai Allah kuatkan aku.

    Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia .
    Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya.
    Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak.
    Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.. Aku
    masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke
    arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.

    'Bapak, Iya Takut!' aku memeluknya lebih erat
    lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.
    'Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?'
    'Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya
    tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia
    jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan
    , Pak!' Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib
    anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa
    apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku
    dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat.
    Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,
    tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di
    Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita
    itu.

    2 tahun yang lalu,
    Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan
    hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah
    datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya.
    Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana . Petugas itu
    membuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass'
    Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis.
    Setelah yakin suda! h mati, jenazah anakku diturunkan
    mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku.
    Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku
    mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air
    mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
    'Kania?'
    'Mas Har, kau ... !'
    'Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!'
    'Iya? Dia..dia . Iya?' serunya getir menunjuk
    jenazah anakku.
    'Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola
    jika sudah besar.'
    'Tidak ... tidaaak ... ' Kania berlari ke arah
    jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit
    histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan
    secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia
    diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya 'Terima kasih
    Mama.' Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah
    tahu wanita itu ibunya.

    Setahun lalu,
    Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku.
    Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir
    kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan
    di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang
    mengantarkan
    jenazahnya padaku, dia sering berteriak, 'Iya
    sayaaang, apalagi yang pecah, Nak.' Kamu tahu Kania,
    kali ini yang pecah adalah hatiku.

    Sumber : TRUE STORY


Sumber: Cerita sedih seorang ayah - IndoForum http://www.indoforum.org/t70472/#ixzz1ZLh4Ans9

No comments:

Post a Comment